Filosofi Abu

Sebagai salah satu ‘fase’ paling sakral (dan paling ingin dilupakan, hehe ga deng) dalem kehidupan nyaris keren gue, kata abu akan selalu melekat dengan Pramono (ini nama gue, salam kenal).

Filosofi Abu selalu punya multitafsiran bagi gue yang emang suka sama ‘misdirection’ dalam pemikiran, inget bukan nama jurus andalan tokoh anime yang bisa basket ya (sebut saja Kuroko). Abu bisa diartikan abu-abu dalam mengambil sebuah sudut pandang, atau dalam tulisan kali ini abu merujuk ke ungkapan “Menang Jadi Abu, kalah jadiĀ babu abu” yang artinya kalah menangĀ sudah biasa gada gunanya (seperti beberapa teman gue, sebut aja si Bocah).

Abu juga sangat melekat sama yang namanya PRabu, yang udah dibahas sebelumnya (baca juga dong tulisan sebelumnya).

PRabu lahir dari dua orang dungu yang gatau mau ngapain sama idup kuliahnya, orang dungu itu sudah bisa ditebak, gue dan temen gue Andri, Tio yang hidupnya 180 derajat berbeda dengan kami para kaum marjinal, tetiba ngedeketin dan ngajakin buat ikutan lomba-lomba PR.

“Gua gamau idup kuliah gua gini-gini aja” kata Tio.

“Iya, gue juga gamau idup lu gitu-gitu aja” Jawab Andri

“Gue gamau lu idup” Jawab gue, yang langsung disambut tawa renyah Andri, Teman Kriminal gue.

Tio yang emang basicnya udah tahan banting, bisa nimpalin gue dengan tawa santai layaknya seorang terbully profesional, sebuah skill yang akan membawa kita PRabu jauh kemana-mana, karena pada akhirnya semuanya bisa ngertiin ego masing-masing dan saling cover.

Namun jauh dilubuk hati gue pun ikut mengamini omongan tio